Berjalan-jalan di bawah dahan pohon-pohon cemara yang saling
bergandengan adalah sebuah aktivitas yang mengesankan. Apalagi ketika
kita sedang menikmati liburan. Bagi yang sedang kasmaran, berjalan
berdua dengan pasangan sambil bergandengan tangan tentu akan menjadikan
suasana terasa lebih romantis. Jika Anda ingin mengalaminya, silakan
berkunjung ke Pantai Gua Cemara yang berlokasi di Dusun Patihan,
Gadingsari, Sanden, Bantul, Yogyakarta.
Meski disebut gua, namun gua yang terletak tidak jauh dari bibir pantai ini bukanlah gua batu, melainkan lorong-lorong yang terbentuk dari dahan-dahan populasi pohon cemara udang (Casuarina equesetifolia) yang tumbuh di sana. “Inspirasi nama Gua Cemara berasal dari para pengunjung awal pantai ini yang terkesan dengan mengatakan, ‘Kok seperti gua ya?’ Dari situ kami lalu menyebut kawasan ini Pantai Gua Cemara,” terang Harjanto, anggota kelompok Sadar Wisata (Darwis) yang mengelola kawasan wisata ini.
Meski secara resmi dibuka sebagai tempat wisata pada medio 2010, sejarah keberadaan lokasi tersebut sudah dirintis sejak tahun 2000 yang ditandai dengan penanaman pohon cemara udang di sisi selatan. Sebelumnya kawasan tersebut adalah lahan garapan kelompok tani setempat. Ketika Dinas Kehutanan memberikan bibit cemara udang, kelompok tani lantas menanamnya di lokasi yang merupakan kawasan berpasir tersebut. Pada tahap selanjutnya, tahun 2004, kelompok tani melanjutkan gerakan penghijauan tersebut dengan menanam bibit cemara udang di sisi utara.
Fungsi dari pohon-pohon cemara udang tersebut adalah sebagai wind barrier (penahan angin). “Sebelum ada cemara, gundukan pasir area ini berubah-ubah bentuk karena tiupan angin. Setelah ada cemara, bentuk gundukan pasir tidak berubah. Para petani pun kesulitan bercocok tanam. Apalagi air laut kan mengandung asam,” urai Harjanto yang juga ketua petugas parkir ini.
Keberadaan pohon-pohon cemara, menurut Harjanto, sama sekali hampir tidak mencegah proses abrasi. Sebab kawasan pantai tersebut tidak berpotensi terkena abrasi. “Jadi lebih ke penahan angin saja,” tegasnya.
Awal mula lokasi tersebut menjadi obyek wisata adalah ketika salah seorang warga setempat, yang bekerja di sebuah hotel di Yogyakarta, melihat adanya potensi yang bisa dikembangkan. Setelah mendapat izin dari kelompok tani, lahan seluas 21 hektar tersebut mulai ditata yang diawali dengan membuka jalan bagi pengunjung. Ketika kelompok pemuda mendapat dana untuk mencangkok cemara, lebih dari separuh dana tersebut dialokasikan untuk membuat jalan.
Bagi wisatawan yang berkunjung ke sana, sampai saat ini tidak perlu membeli tiket. Cukup membayar ongkos parkir saja. Namun apabila ada rombongan yang ingin menggunakan lokasi ini untuk berkegiatan atau menyelenggarakan acara, hanya ditarik uang kas untuk biaya kebersihan. “Di sini ada banyak titik yang dapat dipakai sebagai lokasi camping atau outbound. Selain itu kami juga menyediakan pendapa, MCK, dan kolam renang anak-anak,” sebut Harjanto saat menerima Warta Bantul di warungnya (18/9).
Mengenai warung yang berada di sebelah pintu masuk itu ia bercerita bahwa sebagai anggota Darwis, ia dan kawan-kawannya jika ingin membangun warung tidak diperkenankan menebang cemara udang satu pohon pun. Sebab setelah ditebang, pohon cemara udang tidak akan dapat tumbuh lagi. Jika menebang, konsekuensinya adalah dikeluarkan dari keanggotaan. Oleh sebab itu, Harjanto dan para anggota Darwis lain harus memilih lokasi dan menentukan bentuk bangunan yang tidak mengganggu keberadaan pohon-pohon cemara udang.
Selain keberadaan populasi cemara udang, kekhasan pantai tersebut adalah hasil pertanian andalan dusun Patihan, yaitu ubi. Harjanto menyebut ubi dari Patihan istimewa, tidak seperti ubi yang dihasilkan dari daerah lain. “Ubi di sini pera (tidak lembek-red) dan rasanya manis,” katanya. Harapannya, ubi tersebut kelak akan menjadi oleh-oleh khas Pantai Gua Cemara.
Meski disebut gua, namun gua yang terletak tidak jauh dari bibir pantai ini bukanlah gua batu, melainkan lorong-lorong yang terbentuk dari dahan-dahan populasi pohon cemara udang (Casuarina equesetifolia) yang tumbuh di sana. “Inspirasi nama Gua Cemara berasal dari para pengunjung awal pantai ini yang terkesan dengan mengatakan, ‘Kok seperti gua ya?’ Dari situ kami lalu menyebut kawasan ini Pantai Gua Cemara,” terang Harjanto, anggota kelompok Sadar Wisata (Darwis) yang mengelola kawasan wisata ini.
Meski secara resmi dibuka sebagai tempat wisata pada medio 2010, sejarah keberadaan lokasi tersebut sudah dirintis sejak tahun 2000 yang ditandai dengan penanaman pohon cemara udang di sisi selatan. Sebelumnya kawasan tersebut adalah lahan garapan kelompok tani setempat. Ketika Dinas Kehutanan memberikan bibit cemara udang, kelompok tani lantas menanamnya di lokasi yang merupakan kawasan berpasir tersebut. Pada tahap selanjutnya, tahun 2004, kelompok tani melanjutkan gerakan penghijauan tersebut dengan menanam bibit cemara udang di sisi utara.
Fungsi dari pohon-pohon cemara udang tersebut adalah sebagai wind barrier (penahan angin). “Sebelum ada cemara, gundukan pasir area ini berubah-ubah bentuk karena tiupan angin. Setelah ada cemara, bentuk gundukan pasir tidak berubah. Para petani pun kesulitan bercocok tanam. Apalagi air laut kan mengandung asam,” urai Harjanto yang juga ketua petugas parkir ini.
Keberadaan pohon-pohon cemara, menurut Harjanto, sama sekali hampir tidak mencegah proses abrasi. Sebab kawasan pantai tersebut tidak berpotensi terkena abrasi. “Jadi lebih ke penahan angin saja,” tegasnya.
Awal mula lokasi tersebut menjadi obyek wisata adalah ketika salah seorang warga setempat, yang bekerja di sebuah hotel di Yogyakarta, melihat adanya potensi yang bisa dikembangkan. Setelah mendapat izin dari kelompok tani, lahan seluas 21 hektar tersebut mulai ditata yang diawali dengan membuka jalan bagi pengunjung. Ketika kelompok pemuda mendapat dana untuk mencangkok cemara, lebih dari separuh dana tersebut dialokasikan untuk membuat jalan.
Bagi wisatawan yang berkunjung ke sana, sampai saat ini tidak perlu membeli tiket. Cukup membayar ongkos parkir saja. Namun apabila ada rombongan yang ingin menggunakan lokasi ini untuk berkegiatan atau menyelenggarakan acara, hanya ditarik uang kas untuk biaya kebersihan. “Di sini ada banyak titik yang dapat dipakai sebagai lokasi camping atau outbound. Selain itu kami juga menyediakan pendapa, MCK, dan kolam renang anak-anak,” sebut Harjanto saat menerima Warta Bantul di warungnya (18/9).
Mengenai warung yang berada di sebelah pintu masuk itu ia bercerita bahwa sebagai anggota Darwis, ia dan kawan-kawannya jika ingin membangun warung tidak diperkenankan menebang cemara udang satu pohon pun. Sebab setelah ditebang, pohon cemara udang tidak akan dapat tumbuh lagi. Jika menebang, konsekuensinya adalah dikeluarkan dari keanggotaan. Oleh sebab itu, Harjanto dan para anggota Darwis lain harus memilih lokasi dan menentukan bentuk bangunan yang tidak mengganggu keberadaan pohon-pohon cemara udang.
Selain keberadaan populasi cemara udang, kekhasan pantai tersebut adalah hasil pertanian andalan dusun Patihan, yaitu ubi. Harjanto menyebut ubi dari Patihan istimewa, tidak seperti ubi yang dihasilkan dari daerah lain. “Ubi di sini pera (tidak lembek-red) dan rasanya manis,” katanya. Harapannya, ubi tersebut kelak akan menjadi oleh-oleh khas Pantai Gua Cemara.